Senin, 31 Oktober 2016

Dengan semangat Sumpah Pemuda, Gemapi laksanakan Pelatihan Kader

JAYAPURA, – Kegiatan Latihan Kader I Gerakan Mahasiswa Papua (Gemapi) Angkatan VIII yang berlangsung sejak Jumat, 28 Oktober 2016 lalu, resmi ditutup oleh Ketua Umum Gemapi, Habelino Sawaki SH. M.Si (HAN), Sabtu (30/10) siang, di Gedung Frans Kaiseipo Rindam Cenderawasih. Habelino berharap melalui kegiatan ini ke depan nantinya akan tercipta kader kader pemimpin Papua yang berkualitas dan mampu membawa Papua pada khususnya dan Indonesia pada umumnya agar ke depan lebih maju dan sejahtera.
Habelino Sawaki (Ketua Umum  Gemapi) memberikan sertfikat kepada peserta LK I Gemapi yang telah berhasil melaksanakan rangkaian kegiatan dengan baik hingga penutupan acara

Kepada pers usai penutupan, Habelino menjelaskan, kegiatan ini diselenggarakan dalam rangka memperingati hari Sumpah Pemuda. Dimana kegiatan ini diikuti oleh sedikitnya 130 perwakilan mahasiswa dari seluruh Kabupaten/Kota se- Papua.

Latihan Kader (LK) Gemapi kali ini mengusung tema “Gemapi Berkibar”. “Adapun maksud dari tema ini adalah Gemapi bercita-cita untuk Merangkul dan memperluas cabangnya hingga ke seluruh wilayah Papua dan Papua Barat,” ungkap Habelino.

Kegiatan ini diisi pembekalan materi mengenai wawasan kebangsaan, kepemimpinan, masa depan pemuda, bahaya HIV/AIDS dan Narkoba serta wawasan umum lainnya oleh para tokoh pemuda yang telah sukses saat ini seperti Kepala Dinas PU Jayapura, sejumlah Dosen Uncen dan yang lainnya.

Pembekalan materi mengenai Bahaya dan Penanggulangan Narkoba bagi Generasi Muda Papua oleh BNN Prov Papua

Di kesempatan itu, Habelino juga menjelaskan terkait organisasi mahasiswa yang dipimpinnya. Dikatakan, organisasi ini didirikan sejak 13 Juni 2007 dan diprakasai oleh 13 orang pemuda Papua. “Organisasi ini didirikan dengan tujuan untuk merangkul dan mendidik mahasiswa dan pemuda Papua untuk menjadi pemimpin masa depan yang berintelektual dan berintegritas,”jelasnya.

peserta LK I Gemapi melaksanakan kegiatan Psikologi Terapan, diharapkan tumbuh rasa solidaritas, kekompakan, kerja sama dan saling tolong menolong untuk kemajuan bersama dalam diri para peserta

“Gemapi adalah wadah pendidikan dan latihan bagi pemuda kader pemimpin bangsa dari Papua dan juga merupakan tempat aktualisasi kepemimpinan dan cara berorganisasi bagi para anggotanya, diharapkan anggota Gemapi dapat menjadi para pemimpin di setiap lapisan masyarakat di negara Indonesia ini khususnya untuk Papua,” jelasnya panjang lebar.

Sebelumnya, pada acara pembukaan, Danrem 172/PWY Kolonel Inf Teguh Pudjo Rumekso memberikan apresiasi atas terselenggaranya kegiatan pelatihan ini. Dikatakan, kegiatan LK I Gemapi ini adalah salah satu kegiatan positif yang harus dilanjutkan dan dikembangkan bahkan ke seluruh wilayah Papua. Karena dalam kegiatan ini dikumpulkan seluruh pemuda-pemuda pilihan yang bersedia dan siap dibekali untuk menjadi kader pemimpin masa depan Indonesia yang memiliki integritas dan berkarakter.

“Kita harus membuktikan bahwa pemuda Papua juga bisa dan mampu memimpin bangsa ini. Pesan saya kepada seluruh pemuda Indonesia khususnya Pemuda Papua, hidup adalah pilihan, mau menjadi apa kita ke depan itu tergantung kepada pilihan kalian masing-masing, mau selalu menjadi bawahan yang selalu disuruh atau menjadi pemimpin yang berdiri di depan dan membawa kepada kebaikan,” ujar Danrem dalam sambutannya.

Danrem 172/PWY Kol Teguh Pudjo Rumekso memberikan pembekalan materi Kepemimpinan dan Kebangsaan kepada Peserta LK I Gemapi di Gedung Frans Kaiseipo Rindam Cenderawasih

“Bekali diri kalian dengan ilmu yang banyak dan karakter yang kuat serta penuhi jiwa kalian dengan semangat kebangsaan dan nasionalisme agar dapat menghadapi tantangan zaman dan mengibarkan merah putih di seluruh dunia,”pesannya. [Andi Riri]

Kamis, 13 Oktober 2016


Bagi PM Sogavare Dari Kepulauan Solomon, ‘Selingkuh’ Lebih Baik Daripada Menyelesaikan Masalah Rumah Tangga
Oleh : Jonah Telenggeng (Maybrat, Papua Barat)

Di mata Perdana Menteri Kepulauan Solomon, Manasseh Sogavare, isu Papua Barat ibarat ‘perselingkuhan’ dalam perjalanan karir politiknya. ‘Rumah tangga’ Sogavare saat ini sedang mendapat cobaan berat. Menyelesaikan urusan dalam negeri bagaikan menghadapi amukan istri yang telah dikhianati.


Tentangan berkepanjangan dari lawan-lawan politik, pertumbuhan ekonomi yang merosot dan ketergantungan yang sangat tinggi terhadap bantuan luar negeri, menjadikan mereka sangat vokal terhadap isu Papua Barat. Isu Papua Barat ibarat bola sepak yang mereka seenaknya tendang untuk  menjadikan tontonan umum guna mengalihkan perhatian dari masalah sebenarnya di dalam negeri.


Sogavare menjadi PM Kepulauan Solomon sejak Desember 2014. Ini adalah ketiga kalinya ia menduduki jabatan PM di negara Pasifik berpenduduk 500 ribu jiwa itu. Sebelumnya, ia menjabat sebagai PM pada tahun 2000-2001 dan 2006-2007. Dua periode kepemimpinan yang sangat singkat itu diwarnai resesi ekonomi sebesar delapan persen pada tahun 2001, mosi tidak percaya oleh parlemen pada bulan Desember 2007, dan kebijakan yang merusak hubungan negara itu dengan Australia.
Perdana Menteri Kepulauan Solomon, Manasseh Sogavare
Sogavare menuduh Australia mem-bully negara kepulauan itu ketika Australia menolak membantu kepolisian Kep. Solomon pada kerusuhan yang terjadi tahun 2006. Ia mengusir Duta Besar Australia Patrick Cole dan melindungi Julian Moti, mantan Jaksa Agung Kep. Solomon, yang terancam ekstradisi ke Australia karena tuduhan seks dengan anak di bawah umur.


Memburuknya hubungan dengan Australia, donor utama negara kepulauan itu, membuat aliran dana segar dari Taiwan menjadi lebih penting bagi Sogavare. Taiwan, yang selama ini selalu mencari kesempatan untuk menjalin hubungan dengan negara-negara di Pasifik, langsung memanfaatkan peluang ini.


Wakil PM Douglas Ete menyatakan bahwa Taiwan memberikan dana sebesar 80 juta dolar Solomon (10 juta dolar AS) per tahun, 50 juta dolar diantaranya dibayarkan kepada lima puluh anggota Parlemen. Dari total bantuan itu, 10 juta dolar dialokasikan untuk kementerian Pendidikan dan 10 juta dolar untuk Dana Pembangunan Nasional. Sepuluh juta dolar sisanya raib begitu saja.


Ete meminta Sogavare menjelaskan keberadaan sisa dana sebesar 10 juta dolar itu namun Sogavare menolak untuk membukanya kepada publik. Segera setelah mengungkap hal ini, Ete mengundurkan diri. Ia menyatakan ‘saya sudah hilang kepercayaan pada ketua Pemerintahan Koalisi Demokratis untuk Perubahan (Sogavare) dan kepemimpinannya.”


Sogavare tenggelam dalam ilusi bahwa mereka mendapat sorotan dunia internasional karena mendukung Papua Barat berpisah dari Indonesia. Mereka melarikan diri dari masalah dalam negeri dan memilih menjauh untuk mengikuti ‘godaan’ isu Papua Barat. Pertemuan MSG, PIF dan Pacific Coalition on West Papua (PCWP) yang mereka hadiri baru-baru ini tak ubahnya seperti janji kencan dengan wanita idaman lain.
Terlena dengan nafsu, Sogavare menyatakan bahwa “Papua Barat memiliki hak menentukan nasib sendiri”. Kata-kata yang diucapkan layaknya pasangan selingkuh yang ingin meyakinkan diri bahwa mereka melakukannya atas dasar cinta dan bukan sekedar birahi.


Sogavare lupa, bahwa setiap hari provinsi Papua dan Papua Barat di Indonesia sudah menentukan nasib mereka sendiri. PM Sogavare gagal menerima kenyataan bahwa kedua provinsi itu mempraktekkan demokrasi dan telah memiliki pemimpin dari etnis mereka sendiri. Lebih parahnya, mereka juga tidak mau percaya bahwa mayoritas masyarakat Papua Barat ingin membangun provinsinya menjadi lebih makmur dan sejahtera di dalam satu kesatuan negara Indonesia.


Bukannya menghadapi secara jantan situasi politik dalam negeri yang kacau, pertumbuhan ekonomi yang lemah dan menyelesaikan masalah dalam negerinya, Sogavare malah memainkan peran sebagai orang kuat dan menggaungkan separatisme Papua. Bagi PM Kepulauan Solomon itu, mendukung separatisme Papua tampaknya lebih seksi, lebih memikat, dan memberi mereka tempat untuk lari dari kenyataan. (YK)


Senin, 10 Oktober 2016

Kisah kekejaman Australia berabad-abad pada Etnis Aborigin
Australia, sebuah benua yang awalnya dihuni oleh suku aborigin ini ternyata menyimpan kisah pedih penjajahan hingga saat ini. Australia yang menjadi benua buangan tahanan Inggris ini memang telah menjadi persemakmuran Britania Raya dan berubah menjadi benua makmur dibawah ratu Inggris.

Namun sejatinya benua Australia ini telah direbut dari suku asli yang berdiam 60 ribu tahun di benua kanguru ini. Suku Aborigin, suku asli Australia ini secara paksa tergeser dan menjadi budak selama bertahun-tahun.

Skandal Australia menghebohkan dunia, setelah Surat kabar Independent edisi 24 Mei 1997 menurunkan laporan panjang mengenai bukti kekejaman kolonialis Inggris terhadap Suku Aborigin. Laporan setebal 700 halaman ini disusun oleh mantan Hakim Agung Sir Ronald Wilson.

1.
Awal Kedatangan
Pada masa ‘Carnaval of Crime’ kejahatan di Inggris meningkat dan menjadikan penjara-penjara penuh. Inggris juga tidak bisa lagi membuang para tahanan ke benua Amerika karena Amerika telah memerdekakan diri dari Inggris. Akhirnya navigasi Cook ditahun 1770 yang kembali menemukan Australia membuka celah untuk menguasai benua itu sebagai milik Australia.
Awal Kedatangan (museumvictoria.com)
Kedatangan kapal James Cook ditahun 1770 menjadi awal klaim kepemilikan Inggris atas tanah Australia. Kapal yang awalnya berekspedisi mencari daratan baru ini akhirnya menjadi babak pertama penjajahan terhadap suku Aborigin. Dengan ditemukannya tambang emas semakin banyak imigran Inggris datang dan mengkapling tanah untuk pemukiman pendatang. Pengkaplingan ini kerap bersinggungan dengan tanah adat Aborigin.

2.
Perlakuan Buruk Penjajah
Diawal pendudukannya, Inggris melakukan pembantaian ditahun 1806. Ratusan penduduk pribumi ditembak atau dikeroyok dengan benda tajam sampai tewas. Tercatat dalam laporan surat kabar Independen tahun 1997, banyak terjadi kasus-kasus pemerkosaan wanita Aborigin yang berdampak pada penularan penyakit seksual. Jenis-jenis penyakit yang biasa diidap ras kulit putih, tapi mematikan bagi Aborigin seperti influenza, bisa memicu wabah.
Bangsa kulit putih ingin menguasai daratan Australia dan menyingkirkan suku asli Australia. Mereka memecah konflik berdarah karna memperlakukan suku pribumi dengan  buruk. Dalam arsip kolonial Australia telah dibenarkan dari tahun 1824 hingga 1908, setidaknya 10 ribu suku Aborigin tewas terbunuh. Arsip tersebut juga menyebutkan beberapa korban tewas karena menjadi ‘bahan mainan bangsa kulit putih’.

3.
Suku yang tidak membangun
Berpedoman dengan teori evolusi Darwin, bangsa Inggris melihat suku Aborigin sebagai satu spesies manusia yang tidak membangun. Pada tahun 1890 wakil presiden Royal Society di tasmania, James Barnard menulis, “Proses pemusnahan ini adalah suatu prinsip evolusi dan yang kuatlah yang terus hidup.”
Suku yang tidak membangun (thestringer.com)
Hasil dari pandangan rasis ini membuat suku Aborigin dibantai beramai-ramai. Beberapa kepala yang dipenggal ditancapkan dipintu stasiun, roti beracun diberikan kepada keluarga Aborigin bahkan banyak diantara mereka yang dijadikan hewan eksperimen.

4.
Pemusnahan Suku Aborigin
Diawal abad 20 masih berlanjut kekejaman terhadap suku Aborigin ini. Pembunuhan besar-besaran secara sistematis dilakukan dengan melakukan kebijakan ‘Pembauran’. Suku Aborigin dianggap suku yang tertinggal peradaban, karena memilih hidup di alam bebas atau memakai busana seadanya.

Kebijakan Asimilasi ini dijalankan secara paksa. Pada periode 1910 hingga 1970 lebih dari 100 ribu anak-anak suku Aborigin direbut paksa dari orang tuanya untuk dipasangkan dengan orang tua angkat kulit putih. Mereka diwajibkan berbahasa Inggris dan membuang semua kebudayaan Aborigin.
Kasus ini menggemparkan dunia internasional. Ratusan ribu anak Aborigin itu disebut 'generasi yang diculik'. Ratusan bersaksi di bawah sumpah, bahwa mereka justru diperkosa polisi maupun orang tua angkat yang baru, setelah diambil paksa dari rumahnya di pedalaman.

Selain menculik anak-anak Aborigin supaya lebih beradab, genosida pemerintah Australia dijalankan dengan melarang wanita dewasa Aborigin hamil. Bagi Pria Pribumi yang melawan asimilasi, maka polisi berhak memukulinya, bahkan asimilasi ini terjadi sampai tahun 1970. Laporan Hakim Ronald Wilson juga menyebutkan praktik diskriminasi dan genosida dijalankan bahkan setelah Australia secara sukarela menandatangani traktat internasional Piagam PBB 1948.


Dampak dari rasisme merusak pendatang kulit putih di Australia, terlihat dari anjloknya populasi warga Aborigin. Pada 1788, diperkirakan populasi penduduk pribumi lebih dari 750 ribu.
Pemerintah Australia baru sudi melibatkan Aborigin dalam sensus pada 1971. Pada sensus 1996, tercatat penduduk pribumi tinggal 1,97 persen dari total populasi Benua Kelima itu.